Tradisi “Tilik” Haji

Musim Haji telah tiba berbagai cara ditempuh demi terwujudnya suasana rukun dan damai antar warga komplek. Salah satu wujud “tepo seliro” yang sering dijumpai adalah acara tilik calon haji yang biasanya dilakukan sebulan hingga beberapa hari sebelum hari “H”. Mengapa calon haji mesti “ditiliki”?, kita simak obrolan bapak-bapak komplek.

“Jadi ikut ke rumah pak Jamil nanti sore?” tanya tetangga.

“Pak Jamil kenapa,  sakit? ” Aku balik bertanya.

“Lho,  masak gak tau sih,  beliau mau berangkat haji bersama istri dan anak-anaknya bulan depan?”

“Ooo… ” Aku manggut-manggut tanpa dikomando.

obrolan bapak-bapak komplek

Calon haji adalah orang yang memang sudah mampu?  Kalau hanya sekedar tilik mungkin tidak apa-apa karena silaturrahmi sangat dianjurkan dalam agama. Tapi ini lain, tilik dengan membawa sejumlah barang dan yang paling sering adalah membawa gula dengan jumlah tertentu.

Sudah menjadi tradisi. Bagi sebagian orang tidak menjadi masalah membawa buah tangan tilik ke calon haji sebagai wujud peduli atau bahkan wujud “penghormatan” kepada sang calon. Tentu saja ini berlaku bagi yang kehidupan ekonominya tidak bermasalah. Karena kadang satu komplek calon hajinya ada 6 orang yang ditiliki juga 6 orang. Bisa dibayangkan ada berapa anggaran yang dialokasikan ke sana.

Bagi yang kemampuan ekonominya menengah ke bawah lain lagi ceritanya. Untuk menyikapi hal seperti ini, biasanya Pak RT mengajak bapak-bapak komplek sebagai komandannya untuk tilik. Misalnya ada berapa lokasi yang akan ditiliki berapa bapak-bapak yang ikut rombongan tilik. Masing-masing dikenakan iuran dengan jumlah tertentu yang sama. Setelah dana terkumpul, dibelikan “Cangkingan” untuk beberapa calon Haji di komplek.

Tradisi yang Sulit Berubah

Cara seperti itu membuat beban tetangga yang hendak tilik menjadi lebih ringan. Tapi ada juga yang tetap merasa berat, karena di satu sisi ingin ikut tilik di sisi lain tidak ada dana untuk itu. Sehingga ada juga yang terpaksa berhutang hanya karena ada rasa tidak enak hati bila tak ikut tilik (nah lho…). Ini yang sangat membuat kita prihatin. Kalau memang tidak ada anggaran mbok hiyao tidak usah ikut tilik, toh bu dan pak calon sudah tahu keadaan para tetangganya.

Tidak semua calon haji setuju dengan cara ini. Sayang sekali setiap calon yang mau berangkat sudah pasti para tetangga tahu karena diumumkan di kelompok- kelompok kecil majlis taklim. Pernah ada sepasang calon yang benar-benar tidak ingin merepotkan orang-orang khususnya para tetangga dengan cara menutup pintu rumah dan menyatakan tidak menerima tamu. Apa yang terjadi? Disebut sombonglah,  angkuhlah dll. Padahal niat tulusnya tak mau merepotkan. Beliau berdua hanya membuka pintu persis di hari pemberangkatan sekaligus mohon maaf, mohon pamit dan mohon doa kepada tetangga sekitarnya.

Itulah beberapa pengalaman bapak-bapak diwaktu ngobrol di warung kopi.